Mengasihi Sesama, Peduli Alam Ciptaan
Surat Gembala Uskup Maumere Mgr. Edwaldus Martinus Sedu
Menyongsong Perayaan Paskah 2023
Rekan-rekan Imam, Biarawan/wati, Ibu, Bapak, Saudara, Saudari, Umat Allah sekalian yang saya kasihi.
Dalam Surat Gembala Prapaskah tahun ini kami hendak menggarisbawahi tentang belas kasih kepada sesama dan kepedulian kepada alam ciptaan. Belas kasih dan kepedulian pada dasarnya adalah suatu sikap manusiawi yang pertama-tama merujuk pada relasi adil dengan yang lain. Itu adalah relasi yang menciptakan dan merawat kehidupan, bukan relasi yang menindas, apalagi relasi yang mengeksploitasi yang lain. Relasi yang adil tersebut lahir dari hati yang peka pada keadaan atau situasi dari yang lain, entah itu sesama manusia atau alam ciptaan. Untuk kita, keadilan dan kepedulian itu harus menjadi suatu kepekaan dan sikap iman. Agar menjadi suatu gerakan yang membawa perubahan, keadilan dan kepedulian tersebut tidak boleh hanya menjadi urusan pribadi, tetapi menjadi urusan atau gerakan pembebasan yang kita lakukan sebagai Gereja keuskupan ini.
Mengasihi Sesama: Mendengarkan Jeritan Orang Miskin dan Menderita
Rekan-rekan Imam, Biarawan/wati, Ibu, Bapak, Saudara, Saudari, Umat Allah sekalian yang saya kasihi
Kitab Suci mengisahkan banyak cerita tentang kasih dan kepedulian; entah kasih dan kepedulian Allah kepada manusia atau juga kepedulian di antara sesama manusia. Ketika umat Israel menderita karena penindasan di tanah Mesir, kita mendengar kisah tentang tindakan Tuhan: “Aku telah memperhatikan dengan sungguh kesengsaraan umat-Ku di tanah Mesir, dan Aku telah mendengar seruan mereka yang disebabkan oleh pengerah-pengerah mereka, ya, Aku mengetahui penderitaan mereka,” (Kel. 3: 7). Lalu, Tuhan sendiri melepaskan orang-orang yang menderita dari tangan pendindas (Bdk. Kel. 3: 8).
Perumpamaan tentang Orang Samaria yang Murah Hati (Luk 10: 25-37) menggambarkan dengan sangat indah tentang kepedulian atau empati di antara sesama manusia. Perumpamaan Yesus tersebut telah menginspirasi banyak orang untuk terlibat dalam hidup orang lain yang sangat membutuhkan bantuan. Perumpamaan itu memberi panduan agar orang tidak memenjarakan diri dalam kepentingan diri sendiri, keluarga, atau kepentingan kelompok sendiri. Orang Samaria dalam teks itu sama sekali tidak mengenal orang yang sedang dalam perjalanan dari Yerusalem ke Yeriko dan jatuh ke tangan penyamun yang merampok dan menyiksanya. Tapi, mata-hati Orang Samaria itu melihat dan merasakan penderitaan sesama manusia. “Ia pergi kepadanya lalu membalut luka-lukanya, sesudah ia menyiraminya dengan minyak dan anggur. Kemudian ia menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri lalu membawanya ke tempat penginapan dan merawatnya,” (Luk 10: 34).
Dalam perumpamaan tentang Orang Kaya dan Lazarus yang Miskin (Luk 16: 19-31), kita melihat bahwa si kaya tidak melakukan pelanggaran hukum apa pun. Si kaya ada di dalam rumahnya dengan segala urusannya. Lazarus tidak berada dalam rumah, ia tidak berada dalam pekarangan rumah dari si kaya, dia berada di luar pagar rumah dari si kaya. Tapi, si kaya disalahkan. Mengapa? Si kaya tidak mempunyai kepedulian. Ia tidak memiliki belas kasih kepada pengemis bernama Lazarus yang penuh borok pada kulitnya, yang sedang kelaparan, yang sedang berbaring dekat pintu rumahnya. Tentu, si kaya adalah nama dari orang-orang yang hatinya beku, orang-orang yang tidak melihat atau tidak mau melihat sesama yang malang, orang-orang yang sama sekali tidak mampu merasakan penderitaan orang lain. Lalu, dalam Injil Matius tentang Penghakiman Terakhir, sangat jelas terlihat bahwa kriteria untuk diselamatkan adalah kepedulian terhadap orang miskin dan menderita. Hanya kriteria itu, teks Matius tersebut tidak menyebutkan kriteria lain. “Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan. Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku,” (Mat 25:35-36.45).
Lebih lanjut, kami mengingatkan bahwa kepedulian kepada yang lapar, haus, miskin, dan terlantar semestinya mewajibkan kita untuk melihat akar penyebab dari kemalangan dan kemiskinan. Kita tahu bahwa kemalangan dan penderitaan manusia disebabkan oleh struktur politik, ekonomi, dan budaya yang tidak adil. Kita harus menyebutkan bahwa korupsi, kolusi dan nepotisme adalah juga salah satu sebab kunci dari kemiskinan dan penderitaan. Karena itu, kami menghimbau agar umat ambil bagian secara aktif dalam upaya-upaya advokasi untuk menciptakan kebijakan publik yang membela hak-hak orang-orang rentan dan miskin. Kami juga mendorong agar umat terlibat dalam aksi-aksi pemberantasan korupsi demi menciptakan pemerintahan baik dan bersih. Tentu saja, membongkar struktur-struktur yang tidak adil dan memberantas korupsi selalu punya risiko. Tetapi, umat yang sungguh-sungguh peduli akan selalu ikhlas dan punya daya serta semangat martiria untuk menanggung risiko dari kepeduliannya lantaran mendengarkan jeritan orang miskin dan menderita bukanlah suatu yang opsional tetapi suatu keharusan Injili.
Peduli Lingkungan: Mendengarkan Jeritan Bumi
Rekan-rekan Imam, Biarawan/wati, Ibu, Bapak, Saudara, Saudari, Umat Allah sekalian yang saya kasihi.
Krisis lingkungan atau krisis ekologis yang menyata antara lain dalam perubahan iklim, pencemaran air, udara, dan tanah, serta bencana alam bukanlah cerita khayalan tetapi adalah kenyataan riil yang sudah dan sedang kita hadapi di keuskupan ini. Kitab suci mengatakan secara sangat jelas bahwa bumi adalah milik Allah. “Tuhanlah yang empunya bumi serta segala isinya, dan dunia, serta yang diam di dalamnya,” (Maz. 24: 1). Artinya, manusia bukanlah pemilik ciptaan dan karena itu tidak berdaulat atas ciptaan Tuhan. Manusia bukanlah pusat ciptaan. Tugas manusia adalah merawat dan menjaga bumi dan segala isinya yang adalah ciptaan dan milik Allah.
Dihadapkan dengan krisis ekologis, manusia tidak boleh dan tidak bisa mencuci tangan. Kita harus bertobat dari sikap serakah yang merusak alam, dan perilaku yang mencemari bumi kita. Artinya, kita beralih menjadi orang-orang yang punya empati, orang-orang yang peduli melestarikan bumi. Peralihan sikap inilah yang dikenal dengan istilah pertobatan ekologis. Sangatlah terpuji jika ada rasa bersalah dan sesal secara personal, tapi dalam hal pertobatan ekologis ini ada kewajibaan bagi kita sebagai satu komunitas umat beriman di keuskupan ini untuk melakukan aksi-aksi positif secara bersama-sama dalam merawat dan memelihara alam.
Pada tahun 2015, Paus Fransiskus mengeluarkan Ensiklik Laudato Si yang berarti Puji Bagi-Mu. Melalui ensiklik ini Paus Fransiskus mengajak kita untuk merawat alam dari kehancuran. Ia menamai bumi sebagai rumah kita bersama.
Dalam Surat Gembala Prapaskah tahun ini, kami hendak menggarisbawahi pentingnya kita mengambil bagian dalam Gerakan Laudato Si. Berkaitan dengan hal ini, Paus Fransiskus sendiri menegaskan bahwa “Kita semua dapat bekerja sama sebagai sarana Allah untuk melindungi keutuhan ciptaan, masing-masing sesuai dengan budayanya, pengalamannya, prakarsanya, dan bakatnya sendiri,” (Laudato Si, Artikel 14).
Dalam Sinode Keuskupan yang diadakan tahun lalu kita telah membicarakan secara khusus tentang kerja sama merawat dan melestrarikan alam. Dalam Renstra Keuskupan kita ada Suplemen Khusus, Rencana Aksi Laudato Si. Jadi, kegiatan-kegiatan yang akan kita jalankan sudah ditetapkan. Karena itu, kami mendorong agar semua umat di Keuskupan ini, keluarga-keluarga, Komunitas Basis Gerejawi, paroki-paroki, komunitas-komunitas religius, lembaga[1]lembaga pendidikan, dan siapa saja untuk secara bersama-sama dan penuh komitmen ambil bagian dalam Gerakan Laudato Si.
Penutup: Jeritan Bumi adalah Tangisan Orang Miskin
Rekan-rekan Imam, Biarawan/wati, Ibu, Bapak, Saudara, Saudari, Umat Allah sekalian yang saya kasihi.
Bumi adalah rumah kita bersama. Kehancuran bumi dan krisis ekologis adalah cerminan dari krisis dalam hidup manusia. Berlaku adil kepada alam ciptaan adalah bagian utuh dari berlaku adil kepada sesama manusia. Tentu saja, jeritan bumi tidak dapat dipisahkan dari tangisan orang miskin. Yang paling rentan dan paling terdampak dari krisis ekologis adalah orang-orang miskin. Untuk menyebut beberapa, di keuskupan kita, mereka yang paling rentan ini adalah para petani dan nelayan, para buruh dan pekerja, dan perempuan serta anak-anak yang terancam oleh macam-macam perbudakan zaman ini. Sebagai satu Gereja di Keuskupan ini marilah kita ambil bagian dalam Gerakan Laudato Si. Semoga kita selalu mengambil bagian dalam pertemuan-pertemuan katekese Prapaskah dan menjalankan rencana aksi yang merupakan langkah-langkah konkrit yang disepakati dalam pertemuan-pertemuan tersebut.
Maumere 21 Februari, 2022
†Edwaldus Martinus Sedu
Uskup Maumere
Please wait while flipbook is loading. For more related info, FAQs and issues please refer to DearFlip WordPress Flipbook Plugin Help documentation.