“…..barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu….” (Mat, 20:26)
DIPANGGIL BUKAN UNTUK MEMERINTAH
MELAINKAN UNTUK MELAYANI
Saudara-saudari, rekan-rekan imam, biarawan-biarawati dan umat sekalian yang terkasih !
Salam dan damai sejahtera Allah senantiasa besertamu semua. Kita akan menghadapi PILKADA pada tanggal 27 November 2024. Berkenaan dengan itu, saya ingin meminta perhatian saudara-saudari untuk memahami ajaran Gereja Katolik yang sangat relevan bagi kita dalam menghadapi kegiatan politik ini.
YESUS DAN POLITIK
Yesus diutus ke tengah situasi umat yang sedang mengalami krisis religius, politik dan ekonomi. Di bidang religius: doa dan ritus kebaktian tidak lagi membawa orang kepada persekutuan yang mesra dengan Allah. Ritus hanya sebuah simbolisme terselubung dari sekelompok kecil yang menganggap diri suci. Di bidang politik: kehidupan mereka terlantar karena gaya kepemimpinan yang represif dan otoriter dari para penguasa Romawi kala itu. Di bidang ekonomi: mereka semakin susah karena beban pajak yang tinggi untuk kepentingan penguasa Romawi dan seluruh aktivitas pasar berada di bawah kontrol kekaisaran.
Dalam konteks inilah Yesus diutus: “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang” (Luk, 4:18-19).
Perjuangan Yesus untuk mewujudkan tugas perutusan-Nya ini selalu berbenturan dengan para penguasa/pemimpin politik yang memerintah rakyatnya dengan tangan besi (bdk. Mat 20:25) dan para pemimpin agama Yahudi yang munafik. Karena itu, Yesus mengingatkan para murid dan orang banyak untuk berhati-hati terhadap para pemimpin yang “menduduki kursi Musa” (bdk. Mat 23:1-5). Mereka dikecam oleh Yesus seperti kubur yang bagian luarnya dilabur putih sementara di dalamnya penuh dengan kebusukan (bdk. Mat 23:27). Inilah gambaran mentalitas pemimpin/penguasa yang korup dan menindas.
Sepanjang hidup dan karya-Nya, Yesus melaksanakan tugas-Nya dengan penuh wibawa dan kuasa (bdk. Luk 4:36). Ia bebas dari segala ikatan serta memiliki keselarasan antara perkataan dan perbuatan: “Tuhan setia dalam perkataan-Nya dan penuh kasih setia dalam perbuatan-Nya” (Mzm. 145:13). Otoritas dan kredibilitas Yesus sebagai pemimpin lahir karena kesatuan-Nya dengan Bapa yang selalu menyertai-Nya. Hal inilah yang membuat Yesus tetap setia melaksanakan tugas perutusan-Nya untuk membebaskan dan menyelamatkan manusia.
Kritikan dan kecaman Yesus kepada para penguasa itu telah membawa resiko: dibenci, ditolak, bahkan nyawa-Nya sendiri menjadi taruhan. Yesus meyakinkan para pengikut-Nya untuk terus memperjuangkan tegaknya Kerajaan Allah di muka bumi, walaupun harus mengorbankan nyawa. “Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya, dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat”(Mat 5:11).
GEREJA DAN TANGGUNG JAWAB POLITIK
Saudara-saudari, rekan-rekan imam, biarawan-biarawati dan umat sekalian yang terkasih !
Perjuangan Yesus untuk membebaskan dan menyelamatkan manusia tidak berakhir oleh kematian-Nya di atas kayu salib. Sesudah kebangkitan Yesus mengutus Para murid-Nya untuk melanjutkan karya perutusan-Nya itu dengan jaminan bahwa Ia akan senantiasa menyertai mereka sampai akhir zaman (bdk. Mat 28:20b). Dalam keyakinan ini, baik klerus, biarawan-biarawati maupun awam harus menyadari panggilannya dalam tata dunia sebagai Imam, Nabi dan Raja.
Dalam Konstitusi Pastoral tentang Gereja di tengah dunia dewasa ini, para Bapak Konsili Vatikan II merumuskan tugas perutusan Gereja: “Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga.”(GS.1). Inilah tugas perutusan Gereja yang merupakan kelanjutan dari tugas perutusan Yesus Kristus sebagaimana diungkapkan dalam Injil Lukas 4:18-19.
Gereja memiliki pandangan yang positif terhadap politik dan melihat politik sebagai ruang dimana orang dapat mewujudkan nilai-nilai Injili sebagai dasar visi politik Gereja yang terbuka (inklusif) – tidak diskriminatif, berpihak pada orang kecil, menghargai Hak Asasi Manusia, solider dan saling menolong demi terwujudnya kesejahteraan umum.
Paus Fransiskus dalam Himbauan Apostolik Evangelii Gaudium menegaskan: “… Jika memang ‘tata masyarakat dan negara yang adil merupakan tanggungjawab sentral dari politik’, maka Gereja “tidak bisa tinggal diam dan berpangku tangan dalam perjuangan menegakkan keadilan”. Semua orang kristen, termasuk para pastor, dipanggil untuk menunjukkan kepedulian dalam membangun dunia yang lebih baik, yang layak dihuni oleh semua orang sebagai saudara dan saudari (EG.182-183).
Selain para imam dan biarawan-biarawati, para awam khususnya memiliki tanggung jawab misioner dan kenabian yang mereka peroleh melalui sakramen pembaptisan untuk terlibat secara langsung dalam kegiatan politik praktis. Ini adalah kesempatan kita mempraktekan iman dalam politik praktis yang bertujuan untuk melayani kepentingan umum semua warga, tanpa ada diskriminasi suku, agama, ras, golongan ataupun daerah. (Kan. 287 § 2, 223, 225, 227)
YESUS: PEMIMPIN YANG IDEAL
Saudara-saudari, rekan-rekan imam, biarawan-biarawati dan umat sekalian yang terkasih !
“….Kamu tahu, bahwa mereka yang disebut pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi, dan pembesar-pembesarnya menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Barang siapa ingin menjadi besar di antara kamu hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya.”(Mrk, 10 : 42-43).
Meskipun Gereja sebagai entitas politik, tetapi Gereja tidak melibatkan diri secara langsung dalam urusan teknis pencalonan seorang pemimpin. Gereja hanya memiliki hak yang secara moral harus disampaikan untuk menunjukkan karakteristik pemimpin yang ideal serta model-model kepemimpinan yang harus dimiliki.
Yesus adalah model kepemimpinan yang ideal. Meskipun disadari bahwa idealisme ini sama sekali tidak bisa dijangkau oleh manusia. Namun demikian karakteristik Yesus dalam memimpin harus menjadi model bagi setiap awam Katolik yang mau mengabdikan dirinya sebagai pemimpin masyarakat.
Melalui penginjil Markus, Yesus menegaskan tentang karkateristik seorang pemimpin yang ideal yakni: tidak memerintah dengan tangan besi, melainkan menjadi pelayan dan hamba yang mau mengabdi kepada masyarakat. Kekuasaan seorang pemimpin diperoleh ketika ia mengambil posisi sebagai seorang hamba, dan kehormatan seorang pemimpin mengalir dari jiwa pelayanannya sebagai seorang beriman. Sedangkan kewibawaan seorang pemimpin nampak ketika ia turun dan menyapa masyarakat dengan lemah-lembut dan dengan tulus mendengarkan suara jeritan penderitaan mereka.
Paus Fransiskus pernah memberikan pesan inspiratif kepada para politisi di Italia sebagai berikut: “Menjadi politisi adalah menjadi fasilitator/mediator publik. Seorang Bupati/ wakil Bupati, Gubernur/ Wakil Gubernur perlu berada di tengah-tengah masyarakat. Kalau mereka tidak melakukannya, bagaimana mereka bisa menjadi seorang fasilitator/mediator publik yang wajib mengerti apa kebutuhan masyarakat yang dilayanininya. Sangatlah berbahaya, ketika politisi tersebut tidak menjadi fasilitator/mediator publik, tetapi bertindak seperti seorang ‘makelar’ yang mengambil keuntungan dari kebutuhan masyarakat”.
Paus juga memuji para pemimpin yang menjadi fasilitator/mediator dan mempersembahkan hidupnya untuk mempersatukan rakyatnya, untuk kesejahteraan masyarakat, dengan mencari berbagai solusi dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Paus mengakui bahwa hal itu sama sekali bukan tugas yang mudah. Sering politisi merasa patah arang ketika saatnya dia pulang kerja tetapi masih banyak hal yang belum terselesaikan. Paus menegaskan bahwa tugas tersebut merupakan panggilan mereka.
Seyogyanya pemimpin publik dan politisi pulang ke rumah dengan rasa lelah, tetapi hatinya penuh dengan cinta karena dia telah menjadi seorang fasilitator/mediator. Ini adalah lelah yang membahagiakan. Paus juga berterima kasih dan mengucapkan selamat kepada politisi yang seperti itu. Bertindaklah seperti Yesus, yang menemukan diriNya berada di kerumunan masyarakat ramai, sampai kadang Dia sulit bernafas(bdk. Luk 8:43-48). Masyarakat mencari Yesus karena tahu Dia akan menjawab kebutuhan mereka.
“Kelelahan berada di tengah kerumunan rakyat yang datang mencarimu karena mereka tahu, mereka bisa mengandalkanmu.” (Italia: 5 April 2014).
MEMILIH ADALAH PANGGILAN NURANI
Saudara-saudari, rekan-rekan imam, biarawan-biarawati dan umat sekalian yang terkasih !
Sejalan dengan spirit Sinode I dan II Keuskupan Maumere, saya mengajak kita sekalian untuk kembali melihat sejauh mana umat keuskupan Maumere telah mendapatkan pencerahan politik melalui pendidikan politik kritis. Saya percaya bahwa para pelayan pastoral di keuskupan Maumere telah berbuat banyak untuk menjadikan umatnya sebagai warga masyarakat yang sungguh memahami dengan benar tentang politik. Meskipun, masih ada umat yang belum memahami dengan benar tentang politik.
Melalui pemahaman yang benar tentang politik, umat diharapkan mampu menggunakan hak pilihnya dan mengkritisi situasi sosial, ekonomi, politik yang terjadi dalam roda kepemerintahan yang sedang berjalan. Dengan demikian umat tidak terprovokasi dan dibohongi melalui janji-janji serta kontrak politik saat kampanye. Selanjutnya, kita tidak lagi menjadi orang yang hanya berpasrah, menerima keadaan.
Khusus dalam Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Sikka dan Gubernur NTT pada tanggal 27 November 2024 nanti kita berurusan dengan 2 hal penting yakni: Pertama, pengembangan sistem politik yang lebih baik, yang dapat menjamin penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia, tegaknya hukum yang berkeadilan dan kesejahteraan bersama, khususnya peningkatan sebagian besar warga yang masih hidup dalam belenggu kemiskinan. Kedua, Pemilihan Kepala Daerah (Bupati dan Gubernur), diharapkan dapat menghasilkan pemimpin berkualitas: yang mau mengabdi sebagai pelayan masyarakat dan yang memiliki kemampuan serta kepedulian untuk menyelenggarakan satu pemerintahan yang bersih sesuai dengan panggilan nurani sebagai orang beriman dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan yakni Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhineka Tunggal Ika.
Gereja mendukung prinsip Pemilu yang Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil. Sebagai warga Gereja sekaligus juga warga Negara kita diharapkan untuk berkomitmen dengan melibatkan diri secara aktif dalam pesta demokrasi, tanpa harus mengambil sikap Golput. Karena orang-orang yang mengambil sikap Golput menunjukkan ketidakdewasaan, atau bahkan akan menjadi orang yang gampang mencuci tangan atas segala peristiwa apapun yang sedang dan bakal terjadi. Marilah kita ikut memilih. Karena memilih adalah panggilan nurani kita sebagai orang beriman untuk menentukan masa depan Daerah, Provinsi dan Bangsa kita.
Untuk dapat menyelenggarakan Pemilu yang aman dan damai, maka saya menyerukan kepada saudara-saudari untuk memperhatikan prinsip-prinsip berikut ini:
- Pastikan bahwa anda terdaftar sebagai pemilih, terlibat dalam kegiatan pemilihan serta turut serta mengawal prosesnya.
- Tidak terlibat dalam praktek politik uang.
- Tidak menyebarkan hoax dan fitnah, yang dapat merusak persaudaraan.
- Tidak tergoda untuk kepentingan jangka pendek, memilih orang tertentu demi uang atau karena calon berasal dari suku atau agama yang sama. Berpikirlah dan bekerjalah untuk suatu perubahan yang lebih baik dan berkelanjutan.
- Pilihlah pemimpin yang mau melayani dan memiliki rekam jejak baik; bebas dari praktek korupsi, kolusi dan nepotisme, serta pemimpin yang dapat memberikan harapan kepada masyarakat dan bukan pemimpin yang menimbulkan kecemasan, atau bahkan ketakutan.
- Para pastor, biarawan-biarawati tidak boleh menjadi anggota tim sukses dan menggiring umat untuk memilih pasangan calon tertentu.
- Saudara-saudari yang bekerja di media massa supaya kembali kepada misi dasar media yakni memperjuangkan kepentingan publik dan secara kritis mengontrol pelbagai kekuatan yang bisa merugikan kepentingan masyarakat banyak, termasuk negara. Saya mengajak kalian semua untuk melakukan investigasi secara mendalam dan membuat pemberitaan secara kritis dan faktual, tidak hanya sekedar mengikuti kehendak para pihak yang memberikan keuntungan sesaat.
Saudara-saudari, rekan-rekan imam, biarawan-biarawati dan umat sekalian yang terkasih !
Komitmen politik kita sebagai orang Katolik jauh melampaui kewajiban kita untuk memilih pasangan calon pemimpin. Partisipasi kita dalam partai politik, hendaknya tidak hanya terjadi re-formasi secara struktural mulai dari pusat hingga ke daerah, melainkan lebih lagi mesti terjadi trans-formasi. Dengan kata lain, kehadiran kita dalam partai politik dapat membawa perubahan dan pembaharuan hidup bagi masayakat pada umumnya. Kesejahteraan rakyat menjadi hukum tertinggi. Dalam segala situasi, baik atau tidak baik, saya mengajak para imam, biarawan-biarawati untuk tetap exis sebagai garam dan terang bagi masyakarat dimana saja kita berada.
Semoga berkat Kristus Raja dan doa Maria Bunda Segala Bangsa senantiasa menyertai dan melindungi kita semua.
Maumere 17 November, 2022
†Edwaldus Martinus Sedu
Uskup Maumere