SIMFONI DUKA AMI NORANG – KHOTBAH BAPA USKUP MAUMERE DALAM MISA PERINGATAN 30 TAHUN GEMPA DAN TSUNAMI FLORES

Uskup Maumere, Mgr. Edwaldus Martinus Sedu

Ajarilah Kami Menghitung Hari

(Simfoni Duka Ami Norang)

Mzm 90,1-12-Lk 21,25-36

            Hidup ini sungguh ada dalam naungan kasih Allah, dan kita hanyalah peziarah yang terus berjalan dalam terang kasihNya. Kita tetap harus berdoa dan memohon kepada Allah dengan seruan ini: Ajarilah kami menghitung hari-hari hidup kami (mzm 90,12). Doa yang betul lahir dari kesadaran diri kita betapa kita hanya bisa mengandalkan kasih Tuhan dalam hidup kita, dan kekayaan, prestasi, dan kekuasaan hanyalah kulit luar dari perjalanan hidup kita yang panjang, yang tanpa kita sadari, kita jadikan kekayaan dan kekuasaan sebagai tujuan dalam hidup kita. 30 tahun peringatan gempa Maumere, adalah peringatan pada angkuhnya hidup kita yang lebih andalkan prestasi, kekayaan dan kekuasaan. Kita mesti hidup dalam pertobatan demi pertobatan, dan pemurnian hidup ini, membawa kita seperti satu giliran jaga di waktu malam, dan sama seperti rumput yang tumbuh dan berkembang di waktu pagi, namun lisut dan layu di waktu senja dan malam.

Hidup ini adalah rahmat Tuhan yang mengagumkan dalam hidup kita, meski kita kurang atau tidak menyadari kasih rahmat Tuhan itu. Rahmat kasih Allah itu nyata dalam nafas hidup kita, dalam setiap tugas dan karya yang kita emban serta pengalaman-pengalaman hidup bersama orang lain, dalam segala suka dukanya.

            Pemazmur melukiskan makna hidup dalam bait pantun yang sangat indah dan menawan serentak menghujam sikap kita yang tidak tahu bersyukur atas segala rahmat kasihNya. Ada tiga bait yang begitu indah, yang menggugat kesadaran hidup iman kita.

            Pertama,Mzm 90,1-2:” Tuhan, Engkaulah tempat perteduhan kami turun temurun, sebelum gunung gemunung dilahirkann dan bumi dan dunia diperanakkan, bahkan dari selama-lamanya sampai selama-lamanya Engkaulah Allah.” Tuhan adalah sumber segala rahmat, dan bentangan hidup pada masa lalu hidup kita, tetaplah menempatkan Tuhan sebagai tempat perteduhan turun temurun, perteduhan dari rasa putus asa dan kekecewaan dan juga naungan dari segala rasa letih lesu dan beban berat hidup ini. Dengan sangat puitis, pemazmur membahasakan gunung gemunung yang seakan bisa dilahirkan seperti hidup manusia, dan seperti sebuah perubahan bentuk hidup dalam rencana kehendak Allah. Pemazmur tahu betul siklus hidup alam dunia, dengan segala riwayat pergeserannya, sejarah gempa dan bencana alam, dan dalam kesadaran itulah, mazmur ini membentuk kata gunung gemunung dilahirkan. Pengalaman gempa tsunami yang terjadi 30 tahun lalu di tanah Sikka ini, membawa kita kembali pada kuat kuasa kasih Allah yang misteri namun mengajak kita untuk terus berjaga-jaga sambil berdoa, dan tidak terlena pada kekayaan dan pesona kekuasaan dunia.

            Kedua, Mzm 90,5-6:” Engkau menghanyutkan manusia; mereka seperti mimpi, seperti rumput yang bertumbuh, di waktu pagi berkembang dan bertumbuh, di waktu petang lisut dan layu.” Badai bencana alam 30 tahun silam, membawa kita dalam sebuah gelora perasaan yang campur aduk, sedih marah takut namun tetap berserah dan berdoa pada kuat kuasa kasih Allah. Badai Tsunami itu menghanyukan kita, seperti mimpi, dalam sekejap, segalanya hancur berantakan tak berarti. Apa yang kita anggap sebagai kehebatan dan kekuatan, dibuat hancur lebur oleh tsunami alam lautan itu. Apa yang kita pandang sebagai puncak dari seluruh kekuatan hidup kita, dileburkan seperti rumput yang lisut dan layu. Pelajaran iman paling penting adalah menyandarkan seluruh hidup kita, hanya pada Tuhan, dan dengan segala nafas iman kita mencintai pemilik kehidupan ini dengan berbuat baik dan berdoa bagi orang lain, bagi perdamaian dunia dan bagi orang-orang yang tersisihkan dan terabaikan.

            Ketiga, Mzm 90,11-12:” Siapakah yang mengenal kekuatan murkaMu, dan takut kepada gemasMu? Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana.” Kita sungguh tak dapat mengenal kekuatan murka Tuhan dan pada pelbagai misteri kehidupan ini, kita hanya bisa memohon kepada Tuhan agar kita tidak menyia-nyiakan waktu yang Tuhan berikan dan agar kita dapat menghitung hari-hari hidup kita sebagai saat berahmat dan dengannya kita memiliki hati yang bijaksana untuk memaknai setiap pengalaman hidup, yang seringkali berada di luar kontrol akal budi dan kemampuan manuasiwi kita.

Tahun demi tahun, ketika dukacita pernah terukir di tanah Sikka, Flores. Kita masih terkenang bencana nasional yang melanda tanah Sikka pada 12 Desember 1992. Gempa berkekuatan 7, 8 Skala Richter dan tsunami menelan korban 2.100 jiwa, 500 orang hilang, , 447 luka-luka dan 5.000 orang mengungsi. Narasi kisah itu begitu mendebarkan, menyedihkan dan entah apa yang harus diungkapkan. Mayat-mayat bergelimpangan di pesisir pantai, tak terhitung pengalaman trauma yang mendera anak-anak, perasaan kehilangan yang mendalam. 30 tahun kini kita memperingatinya, dan kita dihadapkan pada dua pokok permenungan dari refleksi pemazmur ini.      

Pertama, membangun belarasa kemanusiaan yang melampaui sekat-sekat kepentingan politik, ekonomi dan agama. Belarasa harus tumbuh dari proses pemanusiaan dalam kehidupan sehari-hari. Yesus dengan sangat tajam menegur keangkuhan hidup kita yang seringkali egois dan mengorbankan orang lain yang lemah dan tidak berdaya. “ Dan akan tanda-tanda pada matahari dan bulan dan bintang-bintang, dan di bumi bangsa-bangsa akan takut dan bingung menghadapi deru dan gelora laut (Lk 21,25).” Kita seringkali mengandalkan kekuatan manusiawi kita, dan kita lupa untuk mengandalkan kasih Tuhan. Bencana alam juga adalah bentuk teguran pada pertobatan hidup ini, agar kita tidak sombong dengan hidup kita yang kita rasa sebagai puncak prestasi dan kemapanan kita.

Kedua, solidaritas sebagai gerakan bersama perlu digalang, sebagai bentuk yang paling konkret untuk lebih dekat dengan begitu banyak korban bencana di negeri kita. Amat sangat mudah mengungkapkan rasa simpati dalam kata-kata indah, namun kita tidak memiliki empati hati dan empati tindakan. Kita kadang tidur nyenyak dalam kemapanan dan kemewahan kita. Solidaritas harus berbuah, uluran tangan bagi mereka yang tertimpa dalam setiap musibah kehidupan ini. Yesus kembali menegur kita dalam amanatnya:” Pada waktu itu orang akan melihat anak manusia datang dalam awan dengan segala kekuasaan dan kemuliaanNya. Apabila semuanya itu mulai terjadi, bangkitlah dan angkatlah mukamu, sebab penyelamatanmu sudah dekat (Lk 21,27-28).”

Marilah kita memaknai setiap pengalaman hidup kita, dalam suka duka kita, dan pada peringatan 30 tahun Gempa Maumere, kita diajak untuk berjaga-jaga sambil berdoa, hidup dalam pertobatan dan pemberian diri dalam semangat belaskasih Kristus. Semoga Tuhan memberkati kita semua agar kita dapat menghitung hari-hari hidup kita. Amin.

Anda mungkin juga suka...

Artikel Populer