”INA NIAN TANA WAWA, AMA LERO WULAN RETA” DAN “AMAPU”

(Wujud Tertinggi dan Tuhan Menurut Etnis Sikka)

Pengantar

Kehidupan manusia tidak terlepas dari relasinya dengan sang pencipta, pengada segala sesuatu atau yang disebut Allah yang Esa. Tulisan ini akan mengkaji  pemahaman ”Wujud Tertinggi”, “Yang transenden” dan “Tuhan” secara terminologis dan Filosofis menurut kepercayaan dan keyakinan yang sudah mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat kabupaten Sikka.

Kabupaten Sikka terdiri atas lima suku besar yaitu suku ata Sikka, suku ata Krowe, suku ata Tana Ai, suku ata Palue dan suku ata Lio. Dalam tulisan ini, penulis  mengambil terminologi “Wujud Tertinggi”, “Yang Transenden” yang sudah dipakai khlayak umum, terlebih oleh suku ata Krowe dengan sebutan “Ina Nian Tana Wawa, Ama Lero Wulan Reta” dan untuk sebutan “Tuhan, Allah” dikenal dengan sebutan “Amapu”. Di sini ada  penyebutan yang membedakan dua realitas tertinggi yakni untuk Wujud Tertinggi atau Yang Transenden dengan sebutan “Ina Nian Tana Wawa, Ama Lero Wulan Reta”.  Sementara itu, untuk menyebut Tuhan atau Allah, ata Krowe dan Suku-suku lain menyebutnya dengan term “Amapu”.

Kepercayaan Ata Sikka Krowe

Sebelum kedatangan bangsa Portugis untuk menyebarkan iman Katolik di Wilayah sunda Kecil (Flores, Bali, dan sekitarnya), masyarakat sunda Kecil sudah lebih dahulu menyatakan kepercayaan dan menaruh harapannya pada praktek-praktek penyembahan  kepada Wujud tertinggi dan penghormatan kepada benda-benda yang dipercayai berdaya gaip sebagaimana yang kita kenal dengan animisme dan dinamisme.[1]


  • [1]Wawancara bersama Bapa Albertus Condradus, pemerhati budaya Sikka Krowe. Dusun Natawulu, Desa Ladogahar, Kecamatan Nita pada 13 April 2023.

Hubungan antara manusia dan wujud tertinggi ini bertitik tolak dari pengandaian akan iman manusia tentang kehidupan sesudah kematian. Hubungan demikian membawa manusia kepada relasi dengan Wujud Tertingginya, Yang Transenden. Hubungan antara manusia dan Yang Transenden berlangsung secara vertikal. Artinya dalam bertindak dan bertutur kata, manusia langsung bertanggung jawab kepada “Amapu” (Tuhan Allah). Beberapa alasan yang meyakinkan kepercayaan  para leluhur untuk menyembah dan menghormati wujud tertinggi pertama-tama didasarkan pada kepercayaan bahwa setelah manusia hidup di dunia ini, manusia akan mempunyai kehidupan yang baru di sebuah dunia yang baru.[1] Dunia yang baru itu adalah dunia yang penuh kemuliaan, sempurna dan Kudus. Keadaan dunia tersebut diungkapkan dalam syair berikut:[2]

 “Nian lau du misi masar, tana wawa du misok malar, kurang e’on duna iwa, susar e’on

senang poin”

Artinya,

“Di dunia yang baru itu, tidak ada kekurangan, tidak ada kesusahan, penuh dengan kebahagiaan”

“Ngeak ngojok du duden dadin, Ngengu ngengang du ‘loli joeng, Plewo Plewan Amapu. Reta Seu lape Pitu, reta kota lape walu”

Artinya,

“Bergaung senandung merdu, dalam alunan nada indah, Puji-pujian sepanjang masa, bagi Allah di Surga tinggi.


  • [1]Alex Jebadu. “Bukan Berhala: Penghormatan Kepada Roh Orang Meningggal” (Maumere: Penerbit Ledalero, 2018), hlm. 10.
  • [2]Simplysius Dasi. “Mengenal Budaya Leluhur Nian Tana Sikka. Dicetak oleh Adolffy Gleko (Wair Long-Desa Wairkoja), hlm 1.

“Amapu” : Terminologi dan Sebutan Tuhan Allah Menurut Ata Sikka Krowe

Amapu” berasal dari dua term yaitu term “aman’ dan term “pun” (berasal dari kata Sikka-Iwan). Dalam bahasa Sikka, “aman” adalah panggilan untuk seorang bapak atau ayah. Sementara itu, term “pun” (bahasa Sikka) merupakan kata ganti kepemilikan atau kepunyaan. Apabila term “aman’ dan “pun” disandingkan, maka menjadi “Amanpun” yang berarti segala yang di dunia ini adalah milik Bapa. Bapa pemilik segala sesuatu yang diciptakan-Nya ini oleh leluhur disebut, “Amapu” artinya Bapa pusat segala yang ada.4


  • 2 Alex Jebadu. “Bukan Berhala: Penghormatan Kepada Roh Orang Meningggal” (Maumere: Penerbit Ledalero, 2018), hlm. 10.
  • 3 Simplysius Dasi. “Mengenal Budaya Leluhur Nian Tana Sikka. Dicetak oleh Adolffy Gleko (Wair Long-Desa Wairkoja), hlm 1.

Ungkapan-ungkapan tentang Amapu dapat digambarkan sebagai berikut:Amapu Kela Nete Naruk Sawe” artinya Bapa menciptakan segala sesuatu yang ada di dunia ini. “Amapu Kela ba’a seu mole dunia nora kenaha sawe” artinya Bapa menciptakan surga dan dunia dengan segala isinya.

Pembagian Nama-nama Ciptaan Amapu

 Dunia ini terbagi atas langit yang disebut “Wula Wutu” dan bumi yang disebut “Nian Tana”. “Nian Tana-Wula Wutu” artinya bumi dan langit. Benda-benda yang ada di “Wula Wutu” itu adalah matahari yang disebut “Lero”, bulan yang disebut “Wulan”, dan bintang yang disebut “Dala”. Segala yang ada di “Wula Wutu” ialah Lero, Wulan dan Dala. Sementara itu, segala yang ada di “Nian Tana” atau bumi adalah “Tana” (daratan), “Tahi” (laut), dan “Wair” (air). Wilayah langit disebut “Nian Wula Wutu”, sedangkan wilayah di bumi disebut “Nian Tana”. “Seu” atau surga berada di atas “Wula Wutu”.

“Amapu” dan Tiga Pribadi : “Amapu Ama, Amapu Me La’i dan Amapu Spiritu Santo”[1]

               “Amapu Ama” bertugas untuk menciptakan “Nian Tanah Wula” (benda-benda langit), “Nian Tana” (bumi) dan “Reta Seu” (surga). “Amapu Me La’i” itu ialah (Amapu Ama joka jok) atau rencana Allah melalui kelahiran Santa Perawan Maria yang dikandung tanpa Noda untuk menebus dosa manusia. Selanjutnya, “Amapu Spiritu Santo” bertugas untuk menguatkan jiwa manusia dan memberi semangat kepada manusia untuk memperbaharui hati, budi dan pikiran kepada kehendak Amapu yang benar (Tuhan Allah).

Ina Nian Tana Wawa, Ama Lero Wulan Reta” : Wujud Tertinggi Ungkapan wujud tertinggi lebih dikenal dengan sebutan “Ina Nian Tana Wawa, Ama Lero Wulan Reta”. Ungkapan ini sejatinya tidak terlepas dari arti setiap kata yang menghadirkan makna kemahakuasaan Amapu (Allah). Dari ungkapan ini, menyiratkan universalitas kemahakuasaan Amapu. Transendensi-Nya mencakup makna filosofis “Ina” sekaligus “Ama”. ”Ina” di sini memiliki arti yang sama dengan “Du’a”. Ina dan Du’a (bahasa Sikka) artinya Ibu, perempuan. Sementara itu, “Ama” (bahasa Sikka) berarti Bapa, Ayah.


  • [1]Penjelasan lanjut dari  wawancara bersama Bapa Albertus Condradus, pemerhati budaya Sikka Krowe. Dusun Natawulu, Desa Ladogahar, Kecamatan Nita pada 13 April 2023.

Mengapa mengunakan term “Ina” dalam mengungkapkan Wujud Tertinggi? Alasannya ialah pertama, “Ina” di sini memiliki makna sebagai lokus kehidupan manusia dimulai dan darinya asal mula terbentuknya kehidupan yang baru. Kedua, “Ina” di sini menggambarkan keterwakilan Allah yang lemah lembut, penjaga, perawat penuh kasih, sekaligus tempat bertumbuh dan berkembangnya seluruh ciptaan Allah. Ketiga,  “Ina Nian Tana Wawa” diartikan sebagai “Ibu bumi” yang menggambarkan asal muasal manusia ialah tanah. Untuk itulah, Ibu bumi dihormati sebagai sesuatu wujud tertinggi. Sedangkan term “Ama” lebih menampilkan sosok bapak langit (Lero Wulan Reta) dengan segala sifat kebapaan-Nya. Kesatuan antara Ibu bumi dan Bapa langit sebagai ungkapan wujud tertinggi sungguh menegaskan universalitas dan Transendensi “Amapu” yang tidak berawal dan berakhir. Ungkapan terhadap wujud tertinggi merupakan gambaran manusia yang tunduk atas  keterbatasannya di hadapan Allah.

Uhek Manar”: Roh-roh yang mendiami ciptaan Amapu[1] Uhek Manar oleh para leluhur disebut sebagai roh-roh. Mereka percaya bahwa di masing-masing “Nian Wula Wutu” ada “Uhek Manar” dengan masing-masing fungsinya. Matahari, bulan, bintang, memiliki masing-masing “Uhek Manar” atau roh-roh. Begitu pun di “Nian Tana” ada “Uhek Manar” untuk mengawasi wilayah pegunungan, mengawasi mata air, laut dan danau, menjaga bukit, lembah dan menjaga sungai. “Uhek manar” di “Nian Wula Wutu” disebut “Mo’an wulan” dan “Uhek manar” untuk “Nian Tana” disebut “Tana Uhek Manar”.  “Uhek Manar” adalah roh-roh. Roh itu ada yang baik (roh penolong) dan ada roh yang jahat (roh Pemangsa). “Uhek Manar” penolong disimbolkan sebagai yang putih, bersih, sedangkan “Uhek Manar” yang jahat disimbolkan dengan warna hitam. “Uhek manar” yang bertampang putih bertugas untuk mencatat segala perbuatan manusia yang baik. Sementara itu, “Uher Manar” yang bertampang hitam bertugas unutk mencatat semua perbuatan yang jelek. Menurut leluhur bahwa segala sesuatu yang diperbuat manusia di muka bumi akan ditampilkan kembali kepada manusia pada haripertama manusia meninggal. Apa yang diperbuat manusia itu adalah data kehidupan dari apa yang dicatat “Uhek Manar”.


  • [1]Simplysius Dasi. Op cit hlm 6-7.

Surga dan Kemahakuasaan Amapu menurut Ata Sikka Krowe[1]

Menurut leluhur, “Nian Seu” (surga) berada di atas Wula Wutu (di atas langit). “Amapu, noran reta seu lape pitu, reta kota lape walu” artinya Bapa di surga (Tuhan Allah) berada di tempat yang paling tinggi. Surga berada di atas segala yang di atas, di atas surga tidak ada lagi wilayah lain. Amapu dianggap berada di tempat yang paling tinggi dari segala sesuatu untuk memantau segala hal yang terjadi di dunia ini.  Kemahakuasaan Amapu ini digambarkan dalam ungkapan dengan menyebut istilah “Amapu matan gete, ni’a gita nete nian tana sawe” artinya Bapa di surga punya mata yang sangat besar dan bisa melihat segala sesuatu yang ada dan yang diperbuat manusia di dunia ini. Ungkapan lainnya ialah “Amapu reta seu noran nete olang sawe” artinya Bapa di surga berada di mana-mana. Leluhur menyebut Kebesaran Allah dengan istilah : “Ama gete tana teker, gahar dugi wulan”  yang berarti Bapa di surga besarnya memenuhi jagat dan tingginya melampaui langit. “Amapu pu’an eon, Amapu moret nain” artinya Tuhan Allah tak berawal dan tak berakhir. **Fr. Juan Sareng


  • [1]Ibid., hlm 7-8.

Anda mungkin juga suka...

Artikel Populer